BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di beberapa daerah di Indonesia,
pasung masih digunakan sebagai alat untuk menangani klien gangguan jiwa di
rumah. Saat ini, masih banyak klien gangguan jiwa yang di diskriminasikan
haknya baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitar melalui pemasungan.
Sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan larangan "tradisi"
memasung klien gangguan jiwa berat yang kerap dilakukan penduduk yang
berdomisili di pedesaan dan pedalaman terus berupaya dilakukan antara lain
dengan memberdayakan petugas kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Di
Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan
terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan
tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch,
2001, dalamMinas & Diatri, 2008). Pengekangan fisik terhadap individu
dengan gangguan jiwa mempunyai riwayat yang panjang dan memilukan. Philipp Pinel dianggap berjasa sebagai
orang pertama yang melepaskan para penderita gangguan jiwa yang dirantai
di RumahSakit Bicetre and Salpetriere
di Paris pada akhir abad ke-18 (Beech,
2003, dalamMinas & Diatri, 2008). Tetapi perlakuan tersebut masih terus
berlanjut di tempat-tempat penyembuhan berbasis agama, dan di berbagai tempat
lain di seluruh belahan dunia (Nair, 2004). Beberapa jenis alat
pengekangan meliputi rantai/belenggu, tali, kayu, kurungan, dan dikunci dalam
ruangan tertutup yang biasanya dilakukan terhadap laki-laki, perempuan dan
anak-anak (The Times, 2007).
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Agar penulis mendapatkan pengetahuan
dan memberikan informasi tentang masalah psikososial pasung pada pasien
gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat.
2. Tujuan Khusus
Dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan dalam masalah psikososial pasung pada pasien
gangguan jiwa, mahasiswa diharapkan mampu :
a. Mengetahui
dan memahami penyebab yang mendasari timbulnya masalah psikososial pasung
pada pasien gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat.
b. Mengetahui
dan memahami terapi dan pencegahan yang dilakukan pada masalah psikososial
pasung pada pasien gangguan jiwa yang terjadi dimasyarakat.
C. MAMFAAT
Mendapat
pengetahuan serta dapat menerapkan apa yang telah didapatkan dalam perkuliahan
dengan kasus yang nyata dalam melaksanakan asuahan keperawatansebagai
pertimbangan dalam pembuatan makalah.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
DEFINISI PEMASUNGAN
Pemasungan penderita gangguan jiwa
adalah tindakan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang
berat) dengan cara dikurung, dirantai kakinya dimasukan kedalam balok kayu dan
lain-lain sehingga kebebasannya menjadi hilang. Pasung merupakan salah satu
perlakuan yang merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapat
perawatan yang memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka sebagai
manusia. Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau
pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan
yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001, dalamMinas & Diatri, 2008). Pengekangan fisik
terhadap individu dengan gangguan jiwa mempunyai riwayat yang panjang dan
memilukan.
B.
ETIOLOGI
1. Ketidaktahuan
pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang tidak kunjung sembuh,
tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan keluaga untuk mengamankan
lingkungan merupakan penyebab keluarga melakukan pemasungan (Depkes, 2005).
2. Perawatan
kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka panjang
(Videbeck, 2008). Biaya berobat yang
harus ditanggung pasien tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan
dengan pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga
biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi
lainnya (Djatmiko, 2007).
Alasan
keluarga melakukan pemasungan diantaranya
1. Mencegah
klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap membahayakan terhadap dirinya
atau orang lain
2. Mencegah
klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain
3. Mencegah
klien menyakiti diri seperti bunuh diri
4. Ketidaktahuan
serta ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila sedang kambuh.
5. Faktor
kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah satu penyebab
pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung
C.
TINDAKAN PEMASUNGAN
Terkurung dalam kandang binatang
peliharaan; terkurung dalam rumah; kaki atau lehernya dirantai; salah satu atau
kedua kakinya dimasukkan kedalam balok kayu yang dilubangi.
1. TERAPI
a. Dirawat
sampai sembuh di Rumah Sakit Jiwa, kemudian dilanjutkan dengan rawat jalan.
b. Untuk
menghilangkan praktek pasung yang masih banyak terjadi dimasyarakat perlu
adanya kesadaran dari keluarga yang dapat diintervensi dengan melakukan terapi
keluarga. Salah satu terapi keluarga yang dapat dilakukan adalah psikoedukasi
keluarga ( Family psichoeducation Therapy). Terapi keluarga ini dapat
memberikan support kepada anggota keluarga. Keluarga dapat mengekspresikan
beban yang dirasakan seperti masalah keuangan, sosial dan psikologis dalam
memberikan perawatan yang lama untuk anggota keluarganya.
2. Family Psychoeducation
Terapy
Family Psychoeducation Terapy adalah
salah satu bentuk terapi perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara
pemberian informasi dan edukasimelalui komunikasi yang terapeutik. Program
psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatis (Stuart
& Laraia, 2005).Carson (2000) menyatakan bahwa psikoedukasi merupakan suatu
alatterapi keluarga yang makin populer sebagai suatu strategi
untuk menurunkan faktor – faktor resiko yang berhubungan
dengan perkembangan gejala – gejala perilaku.
3. Tujuan umum dari Family psychoeducation
Menurunkan intensitas emosi dalam
keluarga sampai pada tingkatan yang rendah sehingga dapat meningkatkan
pencapaian pengetahuan keluarga tentang penyakit dan mengajarkan keluarga
tentang upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan mengetahui
gejala-gejala perilaku serta mendukung kekuatan keluarga (Stuart & Laraia, 2005).
4. Manfaat Family Psychoeducation
Meningkatkan pengetahuan keluarga
tentang penyakit, mengajarkan tehnik yang dapat membantu keluarga untuk
mengetahui gejala – gejala penyimpangan perilaku, serta
peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Indikasi dari terapi
psikoedukasi keluarga adalah anggota keluarga dengan aspek psikososial dan
gangguan jiwa.
Menurut Carson (2000), situasi yang tepat dari penerapan psikoedukasi keluarga
adalah:
1. Informasi
dan latihan tentang area khusus kehidupan keluarga, seperti latihan
keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang efektif.
2. Informasi
dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stress dan krisis, seperti pada
kelompok pendukung keluarga dengan penyakit Alzheimer.
3. Pencegahan
dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk keluarga sebelum terjadinya
krisis
Terapi ini juga dapat diberikan
kepada keluarga yang membutuhkan pembelajaran tentang mental, keluarga
yang mempunyai anggota yang sakit mental/ mengalami masalah kesehatan dan
keluarga yang ingin mempertahankan kesehatan mentalnya dengan training/ latihan
ketrampilan.
5. Family
psychoeduction
Dapat dilakukan di rumah sakit baik
rumah sakit umum maupun rumah sakit jiwa dengan syarat ruangan harus kondusif.
Dapat juga dilakukan di rumah keluarga sendiri. Rumah dapat memberikan informasi
kepada tenaga kesehatan tentang bagaimana gaya interaksi yang terjadi dalam
keluarga, nilai – nilai yang dianut dalam keluarga dan bagaimanan
pemahaman keluarga tentang kesehatan.
Selain terapi keluarga, terdapat
beberapa jenis terapi lain yang dapatdigunakan untuk meningkatkan kemampuan
keluarga dan klien dimasyarakat yaitu dengan terapi individu, terapi kelompok
dan terapikomunitas. Intervensi tersebut diupayakan melalui penerapan program kesehatan
jiwa komunitas/masyarakat yang efektif yang dalam hal ini dilakukan melalui
penerapan Community Mental Health Nursing (CMHN).Pelayanan CMHN tersebut
diwujudkan melalui beberapa kegiatan,diantaranya kunjungan rumah oleh perawat
CMHN dan Kader Kesehatan Jiwa (KKJ), pendidikan kesehatan, pelayanan dari
Puskesmas (termasuk pemberian psikofarmaka), Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) dan Terapi Rehabilitasi (FIK UI & WHO, 2005).
Adapun intervensi yang dapat
diberikan untuk keluarga dengan gangguan jiwa menurut CMHN (2005) adalah
sebagai berikut :
1.
Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam
merawat klien.
2.
Berikan
penjelasan pada keluarga tentang pengertian, etiologi, tanda dan gejala, dan
cara merawat klien dengan diagnosa keperawatan tertentu (misalnya halusinasi,
perilaku kekerasan)
3.
Demonstrasikan
cara merawat klien sesuai jenis gangguan yang dialami.
4.
Berikan
kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat klien yang telah
diajarkan.
5.
Bantu keluarga
untuk menyusun rencana kegiatan di rumah.
6.
Tindakan Terhadap Keluarga Dengan
Pasung
Secara umum, program komprehensif
dalam bekerjasama dengan keluarga terdiri dari beberapa komponen berikut ini (Marsh, 2000 dalam Stuart & Laraia,
2005) :
1.
Didactic component, memberikan informasi tentang
gangguan jiwa dan sistem kesehatan jiwa. Pada komponen ini, difokuskan pada
peningkatan pengetahuan bagi anggota keluarga melalui metode pengajaran
psikoedukasi.
2.
Skill component, menawarkan pelatihan cara komunikasi,
resolusi konflik, pemecahan masalah, bertindak asertif, manajemen
perilaku, dan manajemen stres. Pada komponen ini, difokuskan pada penguasaan
dan peningkatan keterampilan keluarga dalam merawat keluarga dengan gangguan
jiwa termasuk ketrampilan mengekspresikan perasaan anggota keluarga sehingga
diharapkan dapat mengurangi beban yang dirasakan keluarga.
3.
Emotional component, memberi kesempatan keluarga untuk
ventilasi, bertukar pendapat, dan mengerahkan sumber daya yang
dimiliki. Pada komponen ini, difokuskan pada penguatan emosional anggota
keluarga untuk mengurangi stress merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
Keluarga dapat saling menceritakan pengalaman dan perasaannya serta bertukar
informasi dengan anggota kelompok yang lain tentang pengalaman merawat anggota
keluarga dengan gangguan jiwa.
4.
Family process component, berfokus pada koping
keluarga dengan gangguan jiwa dan gejala sisa yang mungkin muncul. Pada
komponen ini, difokuskan pada penguatan koping anggota keluarga dalam
menghadapi kemungkinan kekambuhan klien di masa depan.
5.
Social component, meningkatkan penggunaan jaringan
dukungan formal dan informal. Pada komponen ini, difokuskan pada pemberdayaan
keluarga dan komunitas untuk meningkatkan kerjasama yang berkesinambungan dan
terus menerus.
Kelima komponen di atas sangat tepat
diterapkan sebagai prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan keluarga
dengan gangguan jiwa karena telah mencakup semua hal yang diperlukan untuk
sebuah kolaborasi antara keluarga klien dengan tenaga kesehatan.
Menurut Stuart dan Laraia (2005),
ada dua prinsip utama dalam terapi keluargayang membedakannya dari terapi
individu atau kelompok dan terapi-terapi yang lain, yaitu :
1.
Keluarga diartikan sebagai sebuah sistem perilaku
dengan berbagai keunikan dibandingkan dengan karakteristik sejumlah individu
anggota keluarga.
2.
Diasumsikan bahwa ada hubungan tertutup antara fungsi
keluarga sebagai suatu kumpulan dan adaptasi emosional dari individu anggota
keluarga.
Dalam perkembangannya, terdapat
berbagai jenis terapi keluarga dari berbagai aliran. Meskipun demikian, secara
umum tujuan dari terapi keluarga adalah untuk meningkatkan ketrampilan
individu, komunikasi, perilaku, dan fungsi darikeluarga.
Varcarolis
(2006) mengidentifikasi beberapa jenis terapi keluarga yang berbasis pada
insight-oriented family therapy dan behavioral family therapy.
Insight-oriented family therapy berfokus pada proses unconsciousness (bawah
sadar) yang mempengaruhi hubungan
kebersamaan antar anggota keluarga dan mendorong munculnya insight tentang
diri sendiri dan anggota keluarga.
Berikut ini tiga jenis pendekatan
terapi keluarga yang berfokus pada insight-oriented family therapy yaitu :
1. Psychodinamic
Therapy, dikembangkan oleh Ackerman et al
dengan dasar konsep perbaikan/peningkatan insight dalam menyikapi
cara pandang terhadap hubungan masalah yang terjadi di masa lalu.
2. Family-of-origin
therapy, dikembangkan oleh Murray Bowen
dengan asumsi bahwa keluarga dipandang sebagai suatu sistem hubungan
emosional. Bowen percaya bahwa
keluarga mempunyai pengaruh sangat besar terhadap hidup seseorang. Setiap kali seseorang
masuk dalam suatu hubungan, pola-pola lama yang ada dalam keluarga sangat
berpengaruh terlebih jika individu mempunyai unfinished business dalam hubungan
di keluarga. Oleh karena itu, salah satu alat terapi Bowen adalah peta keluarga
(genogram) 3 generasi. Model Bowen ini kelak menjadi dasar konsep family
triangles.
3. Experimental-existensial
therapy, dikembangkan oleh Virginia Satir
et al dengan konsep bahwa tujuan terapi adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan keluarga dengan asumsi perlunya pemberdayaan keluarga untuk
memecahkan masalahnya sendiri. Menurut Satir, peran
terapis adalah membantu mengidentifikasi disfungsi pola komunikasi dalam keluarga.
D.
PENCEGAHAN
ü Komunikasi,
Informasi, Edukasi (KIE).
ü Kurasi
(penyembuhan) dan rehabilitasi yang lebih baik.
ü Memanfaatkan
sumber dana dari JPS-BK.
ü Penciptaan
Therpeutic Community (lingkungan yang mendukung proses penyembuhan ).
ü Salah satu kasus yang ditemukan melalui
pendekatan CMHN adalah tindakan pemasungan yang masih kerap dilakukan oleh
keluarga klien dengan gangguan jiwa. Untuk memberantas praktek tersebut,
diperlukan peningkatan kesadaran dan pengetahuan dari keluarga dan masyarakat mengenai
gangguan jiwa tentang cara penanganan yang manusiawi terhadap klien.
Hukum pasung merupakan metode yang
paling "populer" karena ada dimana-mana. Alat pasung pun sangat
beragam dari satu tempat ke tempat lain. Umumnya hukuman pasung dilaksanakan
sebagai pengganti penjara. Orang dihukum pasung karena berbagai sebab, antara
lain prostitusi, kriminal biasa, juga sakit jiwa. DiAmerika Serikat pasung
diterapkan sampai awal abad ke- 20, terutama di pedalaman yang tidak
memiliki penjara (Anonim, 2007).
Klien gangguan jiwa merupakan kelompok masyarakat yang rentan mengalami
pelanggaran HAM dan perlakuan tidak adil. Hal ini disebabkan adanya
stigma, diskriminasi, pemahaman yang salah, serta belum adanya peraturan yang
benar-benar melindungi mereka. Kondisi ini diperparah dengan munculnya beragam
pandangan keliru atau stereotip di masyarakat sehingga karena pandangan yang
salah ini masyarakat akhirnya lebih mengolok-olok penderita, menjauhinya,
bahkan sampai memasung karena menganggapnya berbahaya.
Keluarga merupakan unit yang paling
dekat dengan klien dan merupakan “ perawat utama” bagi klien. Oleh karenanya
peran keluarga sangat besar dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan
klien di rumah. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang
terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya
disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota
keluarga. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa angka kekambuhan pada pasien
tanpa terapi keluarga sebesar 25 – 50 %, sedangkan angka kambuh pada
pasien yang diberikan terapi keluarga adalah sebesar 5 – 10 % (Keliat, 2006). Hal ini dapat disebabkan
kurangnya dukungan keluarga terhadap klien sehingga diharapkan dengan
meningkatkan dukungan keluarga melalui intervensi psikoedukasi keluarga dapat
mengurangi angka kekambuhan klien yang secara otomatis akan mengurangi praktek
pasung di masyarakat.
Keluarga merupakan sistem pendukung
utama yang dapat membantu klien dengan gangguan jiwa untuk beradaptasi dan
meningkatkan kemampuannya dalam masyarakat. Jika keluarga memiliki pengaruh
yang positif pada anggotanya, mereka akan mempunyai rasa dan pengakuan diri
serta harga diri yang positif danmenjadi produktif sebagai anggota masyarakat.
Pada kenyataannya, keluarga sering merupakan faktor pencetus timbulnya masalah
kesehatan mental klien termasuk di dalamnya melakukan pengurungan
atau pemasungan terhadap klien yang dianggap berbahaya sebagai akibat
sikap keluarga yang tidak terapeutik terhadap klien dan kurangnya pengetahuan mengenai
peran serta keluarga serta ketidak mampuan memahami klien sehingga tidak mampu
mendukung dalam perawatan klien. Keluarga juga cenderung menganggap penderita
gangguan jiwa sebagai beban dari segi ekonomi dan aib yang harus ditutupi dari
pandangan masyarakat.
Keluarga merupakan „perawat‟ utama dan support system terbesar untuk klien. Gangguan
jiwa yang dialami klien akan menimbulkan berbagai respon dari keluarga dan
lingkungan, salah satunya berupa pemasungan yang dilakukan olehkeluarga
terhadap klien gangguan jiwa jika dianggap berbahaya bagi lingkungan.Pemasungan
yang dilakukan keluarga sangat dipengaruhi oleh perilaku keluarga yang
diuraikan menurut teori Green (1980)
meliputi predisposing factor,
enabling factor dan reenforcing factor.
1.
Faktor predisposisi ( predisposing factor) Mencakup
pengetahuan dan sikap keluarga terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan
keluarga terhadap terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan, sistem
nilai yang dianut keluarga, tingkat pendidikan keluarga dan tingkat sosial
ekonomi keluarga. Misalnya tradisi pasung yang dilakukan keluarga terhadap
klien gangguan jiwa didaerah pedesaan dapat dianggap sebagai warisan dari nenek
moyang. Perlakuan seperti ini dilatarbelakangi oleh pemahaman yang sangat minim
terhadap gangguan jiwa. Ditambah lagi dengan rendahnya tingkat pendidikan dan
tingkat sosial ekonomi keluarga yang secara tidak langsung sangat mempengaruhi keluarga
dalam memperlakukan klien gangguan jiwa.
2.
Faktor pemungkin (enabling factor ) Mencakup
ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagikeluarga,
termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, RumahSakit Jiwa,
ketersediaan psikiater atau perawat jiwa yang mudah dijangkau oleh keluarga.
Pemasungan biasanya dilakukan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di daerah
pedesaan yang mempunyai jarak cukup jauh dari sarana pelayanan kesehatan
sehingga sulit dijangkau oleh tenaga kesehatan. Kesulitan dalam mengakses
sarana pelayanan kesehatan semakin menguatkan perilaku keluarga dalam melakukan
tindakan negatif terhadap klien gangguan jiwa seperti pemasungan atau
pengurungan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan bila
sewaktu-waktu klien mengalami kekambuhan.
3.
Faktor penguat (reenforcing
factor) Mencakup sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan petugas kesehatan
serta adanya undangundang dan peraturan pemerintah. Sikap masyarakat dan lingkungan
keluarga sangat berpengaruh terhadap proses rehabilitasi dan pencegahan
kekambuhan klien gangguan jiwa. Pemasungan yang dilakukan keluarga biasanya
juga mendapat dukungan dari masyarakat karena kurangnya pengetahuan
lingkungan tentang gangguan jiwa. Selain itu, diperlukan juga peraturan
pemerintah yang mengatur tentang kemudahan penggunaan fasilitas kesehatan bagi
keluarga dan masyarakat. Pemasungan merupakan tindakan yang dilakukan keluarga
yang dipengaruhi oleh beberapa hal. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
ketiga faktor di atas turut mempengaruhi keluarga dalam melakukan
pemasungan.Konsep keluarga diuraikan melalui beberapa aspek yaitu kemampuan,
fungsi, peran, tugas dan karakteristik keluarga. Semua faktor tersebut
mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa.
E.
TUGAS
KELUARGA
Mempertahankan status kesehatan
seluruh anggota keluarga baik kesehatan fisik dan mental merupakan salah satu
tugas utama keluarga. Keluarga dengan status kesehatan yang optimal merupakan
aset yang sangat berharga untuk masyarakat dan negara. Warga negara yang sehat
dan produktif sangat berperan dalam meningkatkan produktifitas kerja dan turut menunjang
peningkatan ekonomi negara. Menurut Friedman
(1998), keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami
dan dilakukan, meliputi :
1. Mengenal
masalah kesehatan keluarga. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan
perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun
yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian
orang tua atau keluarga.
2. Memutuskan
tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas inimerupakan upaya keluarga
yang utama untuk mencari pertolongan yang tepatsesuai dengan keadaan keluarga,
denganpertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan
untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh
keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan
teratasi.
3. Merawat
keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. Keluarga hendaknya mampu memerankan
tugasnya untuk merawat salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan di
rumah. Faktor lingkungan dan dukungan keluarga yang positif sangat
mendukung untuk proses kesembuhan seseorang.
4. Memodifikasi
lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga. Keluarga harus berupaya
menciptakan suasana yang nyaman untuk setiap anggota keluarga. Lingkungan yang kondusif akan menciptakan
kondisi mental yang sehat bagi anggota keluarga dan sekaligus meningkatkan
daya tahan keluarga terhadap krisis.
5. Memanfaatkan
fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. Keluarga dapat
merujuk salah satu anggota keluarga yang sakit ke pusat pelayanan kesehatan
terdekat dan juga dapat memeriksakan secara rutin jika terdapat gejala-gejala
kekambuhan.
Gangguan jiwa ringan dan berat
sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan produktivitas
individual/keluarga karena akibat yang ditimbulkan menetap seumur hidup,
bersifat kronik dengan tingkat kekambuhan yang dapat terjadi setiap saat sehingga
pada akhirnya menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Sejalan dengan dampak
ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari
nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya
perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat. Penyelesaian
masalah saat merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dapat
ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan keluarga.
Menurut Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2000), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu : predisposing factor (faktor predisposisi yang meliputi
pengetahuan, sikap, sistem nilai, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi),
enabling factor (faktor pemungkin yang meliputi ketersediaan sarana dan
prasarana, fasilitas kesehatan) dan reenforcing factor (faktor penguat yang meliputi
sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan petugas kesehatan, undang-undang
dan peraturan pemerintah). Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan
bahwa kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor yang harus diketahui dan dimiliki oleh
keluarga sehingga dapat memberikan asuhan yang berkualitas kepada klien.
Bekerja sama
dengan anggota keluarga merupakan bagian penting dari proses perawatan
klien gangguan jiwa (Stuart & Laraia,
2005). Kondisi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia,
sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan negara maju, karena dukungan
keluarga (primary support groups) yang diperlukan dalam penggobatan gangguan
jiwa berat lebih baik dibandingkan dinegara maju. Stigma terhadap gangguan jiwa
berat ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya
tetapi juga bagi anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan,
penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi. Klien gangguan
jiwa mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia (Djatmiko, 2007). Salah satu bentuk
pelanggaran hak asasi tersebut adalah masih adanya praktek pasung yang dilakukan
keluarga jika ada salah satu anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa.
Padahal dengan cara itu, secara tidak sadar keluarga telah memasung
fisik dan hak asasi penderita, hingga menambah beban mental dan
penderitaannya.
F.
Keluarga
dengan Gangguan Jiwa Khususnya Pasung
Kondisi di banyak negara berkembang
termasuk Indonesia, sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan negara maju,
karena dukungan keluarga (primary support groups) yang diperlukan dalam
penggobatan gangguan jiwa berat lebih baik dibandingkan di negara maju.
Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak hanya menimbulkan
konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi juga bagian anggota keluarga,
meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dandiisolasi. Klien
gangguan jiwa mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi
manusia (Djatmiko, 2007).
G.
DAMPAK DARI TINDAKAN
PEMASUNGAN
Salah satu bentuk pelanggaran hak
asasi tersebut adalah masih adanya praktek pasung yang dilakukan
keluarga jika ada salah satu anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa.
Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada tangan atau
kaki seseorang, diikat atau dirantai lalu diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan
ü Secara tidak
sadar keluarga telah memasung fisik dan hak asasi penderita hingga menambah
beban mental dan penderitaannya.
ü Tindakan
tersebut mengakibatkan orang yang terpasung tidak dapat menggerakkan anggota
badannya dengan bebas sehingga terjadi atrofi.Tindakan ini sering dilakukan
pada seseorang dengan gangguan jiwa bilaorang tersebut dianggap berbahaya bagi
lingkungannya atau dirinya sendiri (Maramis,
2006).
Di beberapa daerah di Indonesia,
pasung masih digunakan sebagai alat untuk menangani klien gangguan jiwa di
rumah. Saat ini, masih banyak klien gangguan jiwa yang didiskriminasikan
haknya baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitar melalui pemasungan.
Sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan larangan "tradisi"
memasung klien gangguan jiwa berat yang kerap dilakukan penduduk yang
berdomisili di pedesaan dan pedalaman terus berupaya dilakukan antara lain
dengan memberdayakan petugas kesehatan di tengah-tengah masyarakat.
Pemasungan terdapat di seluruh
Indonesia, hanya prevalensinya berbeda-beda di berbagai daerah. Masyarakat
memakai caranya sendiri untuk menangani klien gangguan jiwa yang dianggap
berbahaya bagi masyarakat atau bagi klien itu sendiri. Cara pasung dianggap
oleh masyarakat sebagai suatu cara yang efektif akan tetapi sangat
disayangkan bahwa selanjutnya tidak ada atau hanya sedikit sekali diusahakan
pengobatan dari segi medis dan klien dipasung terus bertahun-tahun lamanya.
Usaha untuk melepaskan klien pasung sampai saat ini masih terbentur pada banyak
masalah, antara lain keuangan dan tempat di rumah sakitserta sikap masyarakat
sendiri (Maramis, 2006). Stigma dan
ketidaktahuan yang menjadi penyebab klien gangguan jiwa banyak berada di tengah
masyarakat. Selain itu beban berat juga dipikul oleh keluarga klien. Anggota
keluarga menjadi malu dan ikut dijauhi masyarakat, bahkan terkadang keluarga
juga dipojokkan sebagai penyebab gangguan yang dialami klien.
Menurut Minas dan Diatri (2008),
alasan keluarga dan masyarakat melakukan pemasungan terhadap klien
gangguan jiwa sangat bervariasi meliputi pencegahan prilaku kekerasan, mencegah
klien „keluyuran‟ sehingga membahayakan oranglain, mencegah risiko bunuh diri,
dan ketidak mampuan keluarga merawat klien dengan gangguan jiwa. Dari
pernyataan di atas dapat diketahui bahwa praktek pasung yang
dilakukan keluarga dan masyarakat sangat terkait dengan
tingkat pengetahuan dan pandangan masyarakat sekitar.
BAB III
KESIMPULAN
DEFINISI
Pemasungan penderita gangguan jiwa
adalah tindakan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang
berat) dengan cara dikurung, dirantai kakinya dimasukan kedalam balok kayu dan
lain-lain sehingga kebebasannya menjadi hilang.
ETIOLOGI
ü Ketidaktahuan
pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yangtidak kunjung sembuh,
tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan keluaga untuk mengamankan
lingkungan merupakan penyebab keluarga melakukan pemasungan (Depkes, 2005).
ü Perawatan
kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka panjang
(Videbeck, 2008).
Alasan
keluarga melakukan pemasungan diantaranya :
ü Mencegah
klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap membahayakan terhadap dirinya
atau orang lain.
ü Mencegah
klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain.
ü Mencegah
klien menyakiti diri seperti bunuh diri.
ü Ketidaktahuan
serta ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila sedang kambuh.
ü Faktor
kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah satu penyebab
pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung.
TERAPI
ü Dirawat
sampai sembuh di Rumah Sakit Jiwa, kemudian dilanjutkan dengan rawat jalan.
ü Family
Psychoeducation Therapy.
ü Terapi
individu, terapi kelompok dan terapi komunitas.
0 komentar:
Post a Comment